Membaca judul film ini melalui selebaran yang dibagikan saat acara Woman March Jakarta, jujur, membuat saya bertanya-tanya penuh. Ini selebaran apa? Oh, film Indonesia. Film ini siapa yang main? Ah, ga kenal. Lalu masih terus bertanya: siapa penulis naskahnya? Huh, ga kenal juga. Kelar.
Selebaran yang ada di tangan saya
waktu itu gambarnya persis seperti poster filmnya. Tanpa tagline apapun. Karena memang bukan buku yang harus diberikan tagline mungkin.
Film ini ditayangkan pertama pada tanggal
27 April 2019. Menarik, ya! Karena judulnya May tapi kok dirilis di bulan
April. Disutradarai oleh Rhavi Bharwani, film ini menarik karena dapat
dijadikan refleksi kepada masing-masing kita bahwa memelihara luka batin itu
tidak akan pernah mendapatkan keuntungan. Sedikitpun. Sebaliknya. Justru akan
dapat merusak diri sendiri dan sekitar. Juga menular.
Secara bodoh mungkin dapat saya
tuliskan bahwa 27 Step of May, kemudian saya singkat dengan 27STOM, adalah film
yang dibuat sebagai antithesis bahwa luka batin itu seyogianya memang
diselesaikan dengan cara yang baik, benar, dan tidak perlu berlama-lama.
Luka batin itu seyogianya memang diselesaikan dengan cara yang baik, benar, dan tidak perlu berlama-lama.
WOW…!
Dari sudut pandang yang lain film
ini juga merupakan kritik keras terhadap kontruksi pemikiran masyarakat kita
tentang bagaiamana tata laksana hukum dan rehabilitasi terhadap peristiwa
perkosaan di negara ini. Bahwasanya korban juga harus mulai diperhatikan
rehabilitasinya bukan malah sebaliknya, mendapat persekusi karena urusan
pakaian.
Kok bisa?
Scene film
dimulai dengan adegan anak perempuan SMP yang berada di pasar malam dengan raut
yang bahagia kemudian dipotong dengan adegan perkosaan oleh beberapa
(sepertinya ada tiga casting pemerkosa) yang tangannya bertato. Jelas, ini
adalah penyampaian pesan ke masyarakat bahwa orang bertato itu adalah bukan orang yang baik. Bisa melakukan
tindak kejahatan di mana saja dan pada siapa saja. Stigma yang telah melekat
ini mungkin memang tidak dapat disalahkan begitu saja. Namun, apakah stigma ini
selamanya baik? Bisa kita pikirkan bersama, bukan. Meskipun….sekali lagi
meskipun, sampai sekarang mungkin belum didapati tokoh politik atau tokoh agama
yang mengenakan tato di tubuhnya.
Pesan awal seyogianya dapat
ditangkap dengan jelas oleh orang dewasa yang menonton film ini. Seyogianya.
Masuk ke scene inti, diinformasikan kisah ini terjadi delapan tahun
kemudian. Berarti tokoh May berusia sekitar 20-23 tahun. 20-an awal. Digambarkan aktifitas harian antara May
(Raihaanun) dengan Bapak (Lukman Sardi) sebagai pengrajin pakaian boneka.
Mereka menjahit bajunya, memasangkan Pernik-pernik hingga mengemas dengan
menggunakan kotak mika. Aktifitas ini mereka kerjakan tanpa berkata-kata.
Kekuatan akting Raihaanun dalam film ini patut diacungi dua jempol. Karena
kalau lebih dari dua, saya tidak tahu jempol siapa yang bisa saya pinjam untuk
saya acungkan padanya. Mengingatkan saya pada film Silence of the Lamb yang
kuat dengan acting Anthony de Hopkins saat memerankan Hannibal Lector dengan
raut muka yang begitu datar. Bedanya, di 27STOM ini Raihaanun harus benar-benar
berakting dengan raut wajah yang sangat datar untuk menunjukkan bahwa dia
adalah tokoh May yang menyimpan trauma dan trauma itu membuatnya melakukan
aktifitas secara runut hari demi hari.
Adegan ini juga cukup membosankan bagi penonton, tentunya. May membangun dunianya sendiri tidak melebihi pintu kamarnya. Kalaupun harus keluar kamar, itu dia lakukan untuk makan di meja makan. May mengenakan pakaian yang sama berwarna krem muda yang ia setrika setiap pagi ketika akan dipakai. Tidak lupa kaos kaki putih setinggi bawah lutut. Juga makan makanan yang serba putih: nasi putih, telur kampung, tahu putih rebus, dan tauge. Alat makan yang dipakainya juga serba putih. Sampai di bagian ini penonton tentu saja dibawa ke sebuah pertanyaan besar: mengapa putih? Apakah ada kaitan yang erat antara penderita trauma pasca perkosaan dengan atribut serba putih ini.
Adegan ini juga cukup membosankan bagi penonton, tentunya. May membangun dunianya sendiri tidak melebihi pintu kamarnya. Kalaupun harus keluar kamar, itu dia lakukan untuk makan di meja makan. May mengenakan pakaian yang sama berwarna krem muda yang ia setrika setiap pagi ketika akan dipakai. Tidak lupa kaos kaki putih setinggi bawah lutut. Juga makan makanan yang serba putih: nasi putih, telur kampung, tahu putih rebus, dan tauge. Alat makan yang dipakainya juga serba putih. Sampai di bagian ini penonton tentu saja dibawa ke sebuah pertanyaan besar: mengapa putih? Apakah ada kaitan yang erat antara penderita trauma pasca perkosaan dengan atribut serba putih ini.
Sementara akting Raihanun harus
diadu dengan kemampuan akting aktor kawakan Lukman Sardi yang pada film ini
digambarkan sebagai bapak yang raut mukanya selalu suspicious terhadap tingkah
laku May, anaknya.
Pada scene adalanya kebakaran pada menit ke-12, yaitu kebakaran di
tetangga mereka, Bapaknya May dengan segala kebingungannya harus memaksa May
untuk keluar dari rumah untuk menyelamatkan diri. May bersikeras untuk tinggal
dan bapaknya semakin memaksa May untuk keluar dengan cara menariknya. Bagian
ini seperti menarik kembali ingatan May kepada trauma delapan tahun lalu:
perkosaan yang dialaminya.
Surprisingly!
Ketika May teringat akan kenangan itu, yang kemudian dia lakukan adalah
berusaha menyakiti tubuhnya sendiri dengan menyayat nadi kirinya di kamar
mandinya sendiri.
Kehadiran Verdi Soleman sebagai
kawan dari bapaknya May yang setiap hari mengantar bahan baku boneka dan
mengambil boneka yang selesai dihias cukup membuat film ini terasa segar di
tengah scene yang tanpa dialog.
Bagaimana Verdi menjadi kawan yang memahami ‘batas’ yang tidak boleh diinjaknya
yaitu pintu rumah May. Juga sikap sok tau Verdi tentang hal supranatural yang
menimpa May dan bapaknya cukup menyegarkan. Verdi pada kemunculan ke sekian
membawa paranormal yang melakukan ritual untuk mengusir setan yang dianggap
menempel pada May.
Bagian ini cerminan bagi sekitar
tentang bagaimana masyarakat kita mencari jalan keluar untuk masalah psikologis
dengan membenturkannya dengan ritual agamawi atau bahkan hal kesupranaturalan.
Miris? Ya. Tapi ini cerminan nyata. Namun, tugas siapa ini sebenarnya untuk
meluruskannya?
Film memasuki bagian puncaknya
dengan kemunculan lubang intip di dinding yang cukup mengganggu konsentrasi
May. May berusaha acuh dengan lubang itu, tetapi mau tidak mau tetap melirik
dan memberikan perhatian. Pertama May berusaha menutup lubang itu dengan
lakban. Kemudian muncul tali warna dan dilanjutkan dengan tikus putih.
Kehadiran tikus putih ini cukup menyita perhatian May karena May harus
menangkap dan mencari toples untuk tempat hidup si tikus, pada scene berikutnya, si tikus ditukar oleh
bunga. May mulai mengetahui bahwa di balik tembok yang berlubang itu ada tukang
sulap dengan kostum tuxedo yang cukup menarik hati. Diperankan oleh Ario Bayu.
Kerling mata dan raut mimik Ario Bayu cukup dewasa untuk memerankan pria yang
mampu memikat hati wanita yang beranjak dewasa. Tidak dijelaskan sebelumnya
bagaimana awal kisah mereka bisa bertetangga. Dan bagian ini cukup membuat
penonton bertanya-tanya.
Kehadiran pesulap ini membawa ‘pesan’
bahwa pesulap dapat melakukan perubahan yang mendadak atas suatu situasi. Mengapa
tidak profesi yang lain?
Perubahan sikap May ini mulai diamati oleh bapaknya. Dan menceritakan perubahan yang dimaksud pada Verdi Soleman, kawan serta rekan bisnisnya. Dan Verdi datang kembali membawakan paranormal kedua untuk rumah May. Pada saat itu, lubang intip di kamar May semakin besar. Sementara rutinitas keseharian May dan bapaknya tampak sangat menjemukan. May kembali hanya makan makanan yang serba putih: nasi putih, sayur tauge, tahu putih rebus, dan telur rebus. Raihaanun memerankan tokoh May dengan tangan tremor dengan sangat baik. Sementara itu kelincahan tangan Lukman Sardi saat melakukan crafting juga saya yakin butuh latihan yang tidak sebentar. Karena scene yang di zoom-in menampakkan keluwesan itu. Bravo untuk mas Lukman!
Pada scene ketika lubang intip makin besar dan Ario Bayu berusaha
berkenalan dengan akting pantomime pesulap untuk memegang tangan May, itu
membuat May kembali trauma. Ia kembali merasa seperti akan dipaksa dan kembali
terlintas di benaknya peristiwa perkosaan itu.
Pada menit ke-60, konflik mulai
nampak ketika Lukman Sardi menampakkan konflik internal emosinya dengan
berlatih tinju di kamarnya sendiri dengan menggunakan samsak.
Ada amarah yang tidak selesai. Ada emosi yang tidak dituntaskan. Antara masa kini dan masa lalu.
Sementara itu pada saat yang
bersamaan, May juga sedang bergulat dengan kondisi emosinya. Ketika si pesulap
memainkan alat sulap berupa borgol dan sarung tangan. Hal ini mengingatkan pada
May tentang trauma ketika tangannya dicengkeram pemerkosa saat perkosaan itu
terjadi. Sebuah pengingat bagi May dan akhirnya May memilih berlari sembunyi
dan melakukan self-harm. Padahal saat
itu May sudah mulai berkreasi dengan baju yang baru untuk boneka-bonekanya. May
membuat baju model baru untuk boneka-boneka dengan model baju tuxedo pesulap
lengkap dengan topi yang tinggi.
Sejak scene May dan bapaknya
mengalami konflik internal ini, terasa alur film seperti cepat. Terkesan ngebut malah. Mungkin diharapkan segera sampai di
akhir cerita atau akhir konflik. Namun menurut saya alur film menjadi kurang asyik. Padahal konflik yang diangkat
saat May cemburu dengan adik kandung si pesulap bahkan menirukan gerakan
menjadi asisten sulap hingga memotong sendiri rambutnya mengikuti model si adik
kandung itu sangat menarik. Ini akan menjadi pembelajaran bagi penonton bahwa
sesungguhnya penderita gangguan psikis juga mengalami fase tertarik dengan
lawan jenis. Bukankah ini akan menarik untuk disampaikan pada awam bila
berdasarkan keilmuan yang kuat.
Belum lagi saat bapaknya May justru
terjerat pada pusaran amarahnya sendiri hingga membawa pengaruh buruk terhadap
pekerjaannya sebagai petinju, itu cukup menarik. Namun intercut antara acting lukman sardi saat bertinju dan kemudian di
penjara dengan adegan May dengan si pesulap cukup membuat lompatan asumsi dan
teka-teki bagi penonton. Padahal, sekali lagi menurut saya, kalau itu dibuat
lebih pelan mungkin justru akan lebih menyenangkan bagi penonton.
Digambarkan ketika bapaknya
dipenjara dan tidak pulang, justri memberikan pelajaran kepada May untuk bisa
menyiapkan makanannya sendiri serta mau makan jenis makanan lain selain yang
berwarna putih. Sebenarnya ini adalah perkembangan yang baik bagi May yang
seyogianya disaksikan oleh bapaknya. Namun,
Lukman Sardi yang memerankan bapaknya May justru ‘sibuk’ dengan amarahnya yang
sulit dikendalikan olehnya sendiri. Saat adegan May dan bapaknya makan satu
meja lagi, tampak May mulai responsif dengan makanan yang berbeda dan mau
menggeser piringnya. Meskipun antara keduanya masih belum ada dialog.
Tanpa sepengetahuan bapaknya,
hubungan May dengan pesulap semakin dekat dengan makin besarnya lubang intip
yang tadinya kecil hingga dapat dilewati seorang dewasa. Bahkan May juga pernah
menolong si pesulap saat ia terjebak di alat sulapnya yang cukup membahayakan. Hal
ini menunjukkan bahwa May, sebagai penderita gangguan psikologis pasca trauma,
ternyata memiliki respon yang baik untuk menolong sesame ketika orang lain
mendapat kesusahan. Ada respon positif dalam sikap May.
Pada adegan si pesulap masuk kamar
May untuk menolong May, dan akhirnya bapaknya mengetahui hal itu, bapaknya May
justru menghajar si pesulap karena beranggapan bahwa si pesulap akan mencelakai
May. Pergulatan antara pesulap dan bapaknya, justru membuat May makin terpuruk
secara psikis dan itu sangat mengingatkannya akan peristiwa lama. May kembali
masuk ke kamar mandi, menguncinya dan kembali menyayat tangannya sendiri. Tata kosmetik
yang sempurna untuk bekas luka May di tangan yang di-zoom in saat May menyayat luka baru.
Detail yang dikerjakan dalam film ini sangati istimewa.
Menjelang akhir film, konflik yang
terjadi ditengahi lagi oleh kehadiran Verdi Soleman yang kembali menampar Bapak
dengan kata-katanya bahwa “Apapun yang sudah kejadian, ga bisa dibalikin lagi. Di
luar kontrol kita, dan bukan salah kita.”
Apapun yang sudah kejadian, ga bisa dibalikin lagi. Di luar kontrol kita, dan bukan salah kita.
Quote yang menarik, bukan? Karena sering
kali kita lupa bahwa kita selalu ingin mengubah masa lalu yang jelas tidak
dapat kita lakukan.
Alur yang menarik menjelang akhir film adalah ketika May dengan mengenakan pakaian seragam SMP meminta role play diperkosa oleh Pesulap di atas meja. Pesulap semakin paham perannya untuk membantu May dalam menyembuhkan traumanya. Closing film ini ditutup dengan cukup menyenangkan ketika May ganti baju serta memeluk Bapak dan berkata, “bukan salah Bapak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar