Rasanya ini adalah keputusan besar yang salah. Ketika
aku melamar pekerjaan baru sebagai asisten riset di laboratorium ini. Meskipun
aku tahu bahwa Prof. Naryo adalah pribadi yang baik. Sebenarnya Prof. Naryo
juga menyukaiku-kinerjaku, maksudnya-dan selalu berharap aku tinggal bekerja
lebih lama bersamanya. Untuk banyak penelitian selanjutnya, begitu katanya
padaku. Tapi aku sungguh sangat tidak nyaman dengan situasi yang aku alami hari
demi hari sejak aku bekerja di sini. Entahlah… Aku pun galau karena aku belum
menemukan pekerjaan pengganti yang tepat juga. Bagaimana nasib ibuku kalau aku
harus berhenti bekerja dan tidak punya penghasilan. Ini sungguh menjadi mimpi
buruk buatku beberapa malam terakhir.
Laboratorium ini adalah laboratorium yang cukup
tersohor di kotaku. Begitu pula Prof. Naryo, adalah peneliti yang terkenal dan
kredibel. Hasil penelitiannya akurat, valid, dapat diterima serta diaplikasikan
secara mudah. Prof. Naryo mempunyai banyak klien yang ingin selalu bekerjasama
dengannya namun keterbatasan staff lab membuatnya harus menolak klien-kliennya
tersebut. Sebenarnya sebuah kebanggaan aku bisa bekerja dengan Prof. Naryo di
laboratoriumnya, dan keluarganya juga sangat baik padaku. Apalagi anak kedua
Prof. Naryo adalah temanku sekolah dulu di SMU. Jadi, wajar Prof. Naryo dan
istrinya juga menganggap aku seperti anaknya mereka sendiri.
Sejak aku diterima bekerja di laboratorium ini aku
langsung menjadi asisten peneliti, berpartner dengan Dewi. Dewi itu teman satu
angkatan denganku namun dia bekerja di sini lebih dulu. Jadilah aku berpartner
dengannya. Aku senang. Tugasku adalah mendampingi Prof. Naryo dan beberapa
peneliti lain serta mencatat dan membuat laporan dari progress penelitian yang
sedang berlangsung. Dewi juga mempunyai tugas yang sama persis denganku. Namun
kami beda divisi. Aku divisi penelitian dengan objek penelitian hewan sementara
Dewi di bagian tanaman.
----
Dewi:
Aku akrab dengan Mila sejak awal kuliah. Aku bersyukur
sekali dia saat dia mau aku ajak bergabung bekerja pada prof. Naryo. Karena
dengan dia aku bisa share berbagai hal mulai dari pekerjaan, cara
menulis laporan hingga gossip artis hingga cowok gebetan. Hehehe ….
Mila, anak yang cerdas, mempunyai kemampuan analisis
yang bagus. Apalagi ketika dia harus menarik kesimpulan dan penelitian yang
dilakukan oleh tim peneliti. Caranya membuat laporan yang sederhana namun mudah
dibaca juga membuat dia disukai tim peneliti termasuk Prof. Naryo. Namun, itu
menjadikan Mila juga agak tidak disenangi oleh beberapa tim peneliti. Mereka
bilang Mila cari muka di depan Prof. Naryo. Padahal aku yakin, Mila tidak
begitu orangnya.
----
Saat masa percobaan dulu, manajer HRD yang bernama bu
Diana, sudah memberitahukan padaku bahwa ada satu ruangan yang aku tidak boleh
mengakses. Dan itu akan membuat karirku runtuh kalau aku melanggar aturan itu.
Ruangan yang dimaksud adalah sebuah gudang penyimpanan preparat dan objek
penelitian. Ruangan itu tepat berada di belakang ruangan utama laboratorium
tapi pintu masuknya berlawanan arah dengan ruang utama, sehingga harus melewati
koridor sepanjang kira-kira 25 meter dari ruang utama. Sementara ruang kerjaku
bersama Dewi berada di depan ruangan utama. Butuh waktu sekitar 3 menit untuk
berjalan dari ruanganku ke ruang yang tidak boleh diakses tersebut. Bagiku ini
bukan masalah karena dengan pekerjaan utama ini saja aku sudah cukup kelelahan.
------
Prof.
Naryo:
Mila ini adalah salah satu karyawan yang lugu, polos
dan baik. Sebagai anak yatim dia selalu berbakti pada ibunya. Mana mungkin aku
menyakitinya. Bahkan aku selalu membayarkan gajiku melalui bagian finance
sebelum tanggal di kontrak kerja. Selain hatinya lembut dia juga suka menolong,
tapi aku sering agak terganggu dengan instingnya dalam menganalisis data dan
keadaan….
-----
Aku sering pulang larut, karena proses penelitian
tidak mengenal jam kerja saja. Para peneliti pendamping selain Prof. Naryo juga
mengatur jadwal kerjanya secara bergiliran, sehingga mereka juga tetap
membutuhkan bantuanku untuk mencatat progress penelitian. Ada lima peneliti
pendamping yang selalu berada di sekitar Prof. Naryo. Salah satunya adalah
dokter Rio. Dokter berkacamata minus ini telah lama menarik perhatianku karena
dia satu-satunya peneliti pendamping yang sering menemani Prof. Naryo di malam
hari. Kami sama-sama di divisi animal. Sangat sedikit bicara. Dia akan menulis
di post-it pesan-pesan yang dia butuhkan untuk kubantu. Kalau kutaksir
usianya mungkin hanya terpaut 3 tahun di atasku. Malam ini dokter Rio
mengajakku lembur.
“Mila, kamu bisa lembur malam ini? Aku butuh
bantuanmu,” tanya dokter Rio. Aku mengangguk, “Bisa Dok, tapi aku ndak bisa
sampai pagi ya. Aku janji mengantar ibuku ke dokter besok pagi.”
“Engga sampai pagi kok, Mil. Mungkin sekitar jam 12 sudah selesai dan kamu bisa pulang. Aku mau kamu nungguin lab dulu, aku mau ambil preparat malam ini sebelum jam 10. Bisa, kan?” tanya dokter Rio.
“Iya, Dok. Aku tungguin di sini sambil menyelesaikan laporan,” jawabku.
“Nice, Mil” katanya sambil berlalu.
Dari ekor mataku aku tau dokter Rio berjalan menuju
gudang tempat menyimpan preparat. Kupikir tadinya dia akan pergi keluar untuk
mengambil di rumah sakit. Ahh… biar saja dia lakukan pekerjaannya. Sementara
aku pun juga masih harus menyelesaikan laporanku.
Hampir jam sepuluh malam Dokter Rio belum kembali ke lab. Sementara aku lapar. Aku belum makan sejak siang.
“Dok, kamu balik ke lab jam berapa? Aku lapar nih”
tulisku di pesan WhatsApp.
Tidak lama aku dengar ada bunyi HP dari arah lab, ahh… berarti dokter Rio tidak pergi membawa HP-nya. Perutku makin keroncongan. Kuhabiskan saja biscuit milik Dewi yang ada di ruanganku.
Sekitar jam 11 malam aku baru mendengar ada langkah kaki mendekat. Kuduga itu dokter Rio. Seperti terengah-engah dan tergesa dia masuk ke lab utama. Aku menyusul di belakangnya.
“Dok, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja?” tanyaku khawatir. Buru-buru aku ambil satu gelas air minum dalam kemasan lalu kusodorkan padanya.
“Thanks Mil. Ya aku baik-baik kok” jawabnya sambil duduk di kursi yang ada di lab utama.
Ada yang janggal yaitu aku lihat ada bercak darah di jas putihnya. Seharusnya semua preparat di gudang itu dalam keadaan beku. Karena hewan yang masih hidup ada di ruang karantina di luar. Aku diam saja melihat kejanggalan itu. Takut dokter Rio tersinggung.
“Mila, kita pulang saja ya… kamu pulang gih, kita batal lembur. Aku sepertinya masuk angin. Badanku meriang”
“Hmm… Ok Dok, tapi sedikit lagi ya, aku mau beresin laporan dulu sedikit lagi.”
“Ya sudah… Aku jalan duluan ya,” pamitnya. “Baik…”
sahutku sambil kembali ke ruanganku.
-----
Rio:
Benar apa yang disampaikan oleh prof. Naryo beberapa
minggu lalu. Mila ini adalah salah satu staff yang harus diwaspadai. Dia sangat
jeli melihat situasi. Aku sebaiknya berhati-hati dengannya. Seperti baru saja,
sepertinya dia menaruh curiga padaku.
----
Tidak lama berselang dari aku masuk ruangan, ada langkah kaki keluar lab utama. Itu pasti dokter Rio berjalan keluar. Tapi kok seperti mengarah ke koridor ya. Ah… aku berusaha untuk menghiraukan itu karena laporanku masih harus aku kerjakan.
‘Beep … beep …’ penanda jam 12 berbunyi dari arlojiku.
Aku harus bergegas pulang sepertinya. Aku bersiap, mematikan PC di ruanganku
dan merapikan meja, ketika aku mendengar ada orang yang berbicara. Suara siapa
ya itu?
Aku keluar dari ruanganku dan terhembus hawa dingin.
Suhu ruangan di lab utama itu harus terjaga sesuai standar. Kalau tidak akan
membuat beberapa penelitian gagal. Aku
cek indikator suhu yang ada di sebelah pintu masuk lab utama. Dan semuanya
normal. Suara orang ngobrol masih terdengar sayup-sayup di tengah malam ini.
Aku jadi tertarik mencari sumber suara da nasal hawa dingin ini. Sambil
kurapatkan jaketku aku perlahan mengendap menyusuri koridor.
Di benakku hanya tergambar wajah bu Diana, HRD, yang
mengingatkan aku untuk tidak masuk ke ruangan terlarang itu. Tapi aku
penasaran.
Semakin dekat dengan ruangan itu aku semakin pelankan langkah kakiku. Untung hari ini aku pakai sepatu sneaker yang solnya bukan karet, jadi tidak ada suara derit sol karet berpadu dengan lantai keramik.
Ketika aku semakin dekat dengan ruangan itu, ternyata ruangan itu terbuka pintunya. Ini melanggar standar bahwa siapapun yang masuk atau keluar ruangan lab itu harus menutup pintu. Ternyata benar obrolan itu berasal dari ruangan itu. Suara prof. Naryo dan dokter Rio.
Tidak jelas apa yang mereka bahas tapi aku mencium bau anyir dari ruangan itu. Aku mencoba mengintip ke dalam, hanya terlihat sepatu perempuan. Sepatu perempuan?! Bukankah hanya ada dua lelaki di salam sana?
Aku semakin penasaran. Tidak sadar aku terpeleset genangan air di dekat pintu. Ini bukan air ternyata. Ini darah!
Gubraaakkkk! Aku menubruk pintu yang telah terbuka sedikit karena terpeleset dan jaketku terkena darah. Sepersekian detik aku sempat melihat potongan tangan dan kaki manusia. Sebelum aku mendengar gertakan suara prof. Naryo, “Mila, apa yang kamu lakukan di situ!”
Aku belum menyadaari situasi, tetiba tengkukku seperti
dihantam tongkat. Pandanganku gelap.
-------
Bagian 2
Diana:
Setiap ada calon pelamar yang melamar ke tempat ini
dan perempuan, entah kenapa aku jadi was-was. Karena hampir semua berakhr
dengan misterius. Apalagi bila anak gadis seperti Mila itu. Dari psiko-testnya
menggambarkan anak ini cerdas dan rasa ingin tahunya tak dapat dibendung. Aku
khawatir Mila menjadi yang berikutnya. Oleh karena itu aku sangat tegas
kepadanya hanya agar dia tidak telalu mengumbar rasa ingin tahunya itu di
lingkungan sini. Aku juga tidak tahu pasti untuk apa prof. Naryo selalu
menerima karyawan yang perempuan dan lajang. Kartika, staff finance bagian
pajak yang diterima bersama Mila juga anak yang cerdas. Kalem dan memiliki mata
yang indah. Gadis penyuka warna hujau muda ini selalu terlihat ceria. Pulang
pergi bekerja selalu diantar oleh pacarnya. Tapi perasaanku terhadap anak ini
tidak enak juga. Tapi kan …. Kartika akan jarang berada di lab. Jadi aku rasa
aku tidak perlu memperingatkannya setegas pada Mila. Tetapi akhir-akhir ini aku
tahu Prof. Naryo mulai tidak suka dengan Kartika sejak dia kuduga tidak mau
diajak untuk mengakali pajak . Sekali lagi semoga perasaan ku ini salah.
-------
Ibu Mila:
“Mila, kamu tidak lupa kan kalau kita ada janji dengan
dokter hari ini jam 9? Kamu pasti banyak kerjaan ya? Ibu tunggu ya. Eh iya, ibu
masak sayur lodeh kesukaanmu nih. Makan di rumah saja ya Mil” –pesan WhatsApp terkirim.
Tapi didapati hanya centang satu di layar. Ini sangat
aneh. Mila tidak pernah mematikan telepon genggamnya. Ibu mulai menenangkan
diri, mungkin Mila beneran sibuk.
-----
Aku mulai mengernyit mencoba membuka mata. Rasanya
perih sekali mataku . Ahhh…. Kenapa gelap sekali. Ahhh …. Mataku ditutup
rupanya. Bau-bauan tajam menyengat dimana-mana, hingga aku tidak bisa
menengarai. Mulutku tersumpal. Aku tidak bisa berbicara bahkan mengeluarkan
kata-kata karena ikatannya sangat kuat. Aku ini di mana ya?
Aku mencoba menggerakkan tanganku yang terikat sebelum
aku menerima tendangan di perutku. Uuughhhh …. Nyeri sekali rasanya. Lapar dan
nyeri bercampur menjadi satu. “Sudah kamu diam saja Mil.” Aku yakin sekali itu
suara dokter Rio. Dengan aroma rokok yang keluar dan mulutnya bercampur bau
bir. Aku mengerang kesakitan tapi tidak ada suara yang bisa keluar dari
mulutku. Tapi aku tetap mencoba teriak sekeras mungkin.
Aku jadi tahu bahwa aku ini masih di lab. Mungkinkah
ini di ruang penyimpanan preparat? Ahh …. Aku mulai ingat ketika aku jatuh
terpeleset tidak lama tengkukku seperti dihantam benda keras. Mungkinkah dokter
Rio yang melakukannya padaku. Mengapa dia ingin menyakitiku seperti itu? Apa
salahku padanya?
Aku terus mencoba berteriak dengan suaraku yang
tercekat oleh sumpal kain ini. Aku mencoba membuat orang di luar tempat ini
mendengar dan mungkin bisa menolongku. Aku terus mencoba berteriak dan tidak
peduli saat berkali-kali pula sepatu dokter Rio melayang di paha, perut serta
punggungku untuk menyuruhku diam. Aku makin berontak. Tapi aku tahu ada air
mata yang keluar dari mataku karena rasa nyeri tendangannya. Teriakanku berubah
menjadi tangisan karena menahan nyeri di punggung dan perutku. “Sudah Rio, hentikan!”
aku dengar suara prof. Naryo memberi perintah. Aku masih menangis karena memang
sangat sakit. Ada langkah kaki mendekatiku, entah siapa. Tapi tidak lama aku
merasa orang itu membuka ikatan penutup mataku. Pelan-pelan aku melihat dokter
Rio berdiri di depanku dengan jasnya semalam yang penuh bercak darah. Aku lihat
ada sepatu perempuan warna cokelat dengan hak yang tidak terlalu tinggi, aku
mengingat-ingat sepertinya tidak asing dengan sepatu itu, dan di sebelahnya aku
melihat ada tas ransel berwarna hijau muda. Aku tahu itu milik siapa. Di lemari
pendingin aku sempat melihat ada jajaran toples berisi jantung, paru-paru,
potongan tangan dan kaki manusia. Sebelum aku menyadari semuanya, aku mendengar
suara prof. Naryo berkata, “Selamat
begabung di lab ini Mila…hahahahhaha.”
Dan untuk kedua kalinya tengkukku dihantam benda
keras, nyeri sekali. Sebelum semuanya kembali gelap.
-----m.a------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar