Dalam hidup, ga ada jaminan untuk terus bahagia, ga ada kepastian buat apapun, setiap orang bisa terlempar dari kotak rasa nyamannya, secara tiba-tiba.
Film yang sudah dirilis pada 9 Maret
2012 ini cukup menarik untuk ditonton lagi. Diperankan oleh banyak aktor dan
aktris muda Indonesia menjadikan film ini semacam film filosofi kehidupan yang
kemasannya ringan.
Film dibuka dengan monolog Vino
tentang labeling yang ada di sekitar kita. Ketika hidup kita melekat pada
pelabelan itu, dan label itu dilepas, kita bukanlah siapa-siapa. Kemudian
adegan bahwa Vino dikeluarkan dari sekolahnya karena tidak membayar uang
sekolah lebih dari tiga bulan, meskipun Vino telah bersikeras bahwa bapaknya
adalah donatur terbesar buat sekolah Vino pada masanya.
Menceritakan kisah Vino (diperankan
oleh Adipati Dolken) yang merupakan anak pengusaha kaya yang sedang bangkrut
yaitu Amir (Surya Saputra). Amir digambarkan mempunyai karakter yang keras,
idealis, dan penyayang keluarga. Kebangkrutan Amir membuat Mirna (Kinaryosih
memerankannya dengan sangat apik) memilih meninggalkan suami dan anak-anaknya.
Dialog antara Mirna dan Amir saat Mirna akan pergi adalah protret jujur
masyarakat kita tentang perpisahan. Meskipun tidak pernah ada data pasti
mengenai hal ini. Yaitu apakah harta memang menjadi penyebab utama perpisahan
dan pernikahan. Dialog tajam yang dilontarkan Mirna dan tentu saja menjadi
entry point mengapa bisa belajara menjadi laki-laki melalui film ini. Mirna setengah
berteriak mengatakan pada suaminya, Amir, “Suami lain bahkan mencuri untuk bisa
ngasih makan keluarganya.”
Tentu saja ini adalah pembelajaran
yang salah. Namun, bila kita mau menggeser sedikit sudut pandang kita menjadi
positif, dialog itu memberikan pesan bahwa seorang laki-laki diharapkan
menjunjung tinggi keutuhan keluarganya meskipun badai kehidupan sedang menimpa.
Ini tidak bisa ditelan sebegitu mudahnya. Dalam setiap perpisahan tentu ada
pilihan yang sulit sebelumnya. Amir digambarkan sebagai seorang suami yang
memilih untuk tetap bersama keluarganya dan tidak meninggalkan untuk memilih
menyendiri saat mengalami kebangkrutan.
Sialnya, saat Mirna mengatakan
kalimat itu, Vino mendengar ucapan ibunya dan membuatnya berpikir bahwa
‘sepertinya menghalalkan cara untuk keluarga itu baik adanya’.
Kita memang hidup dalam kotak-kotak, dalam sekat-sekat, pelabelan. Dan saat label kita dicabut, kita bukan siapa-siapa lagi.
Di saat keriuhan hati karena
perpisahan antara Mirna dan Amir, Wina (adik Vino – diperankan oleh Gecha
Tavvara) mendapat kecelakaan di kamar mandi, dibawa ke rumah sakit, memerlukan
tranfusi golongan darah A dengan rhesus negative. Menurut saya, scene dari
perpisahan hingga kecelakaan yang menimpa Wina berjalan begitu cepat. Belum
lagi di rumah sakit Vino bertemu dengan Mura (Maudy Ayunda) serta calo organ
(diperankan oleh Agus Kuncoro). Bila sebelum nonton film sudah membaca sedikit
sinopsisnya, dari adegan ini tentu sudah menemukan ending film. Meskipun dikemas cukup berliku dengan adanya roman
antara Vino dan Mura sebelumnya. Sebab, adegan ini terjadi pada 30 menit awal
film.
Masuk ke babak konflik kedua –
setelah konflik pertama tentang Vino dan keluarga intinya cukup reda dengan
terselesaikannya masalah biaya rumah sakit dan menebus kembali rumah Amir yang
disita bank. Tanpa sepengetahuan siapa pun Vino mengadakan perjanjian dengan
Agus Kuncoro (sebagai calo) bahwa Vino siap mendonorkan organ dalamnya – berupa
jantung. Agus Kuncoro dengan kemampuan aktingnya mampu menekan psikis Vino. Dialek
dan mimik muka Agus Kuncoro sangat sesuai dengan casting ini. Dua jempol untuk peran anatagonis ini, Mas
Agus!
Konflik kedua adalah tentang Vino
dengan kegundahannya setelah mengetahui calon penerima donasi organnya adalah
Mura.
Adipati Dolken dengan perannya
sebagai Vino kali ini mengajarkan kepada penonton untuk rela berkorban demi
keluarganya. Meskipun, saya yakin, tidak semua orang dapat dengan mudahnya
dengan ide yang diambil oleh Vino ini. Vino berubah dari sosok lelaki muda yang
tidak peduli dengan keluarga menjadi sebaliknya.
Sementara penonton mendapat
pelajaran ‘how to be a good son’ dari
sosok Vino, Amir-bapak Vino- mengajarkan penonton tentang ‘how to be a good daddy’ dengan tetap menunjukkan bagiannya untuk menghidupi
anak-anaknya sebagai sopir taksi, yang bahkan mendapat penghakiman melalui
lirikan mata. Juga, Wina mendapatkan perundungan dari teman-temannya karena
mengetahui bapaknya adalah seorang pengemudi taksi. Ini juga cermin nyata bahwa
masyarakat kita masih lekat dengan perundungan karena jenis pekerjaan, apalagi
perundungan kelas sosial. Miris.
“Kadang untuk ninggalin temen yang
kita sayang, kita perlu membuatkan marah dan sakit hati, agar saat kita
meninggalkan kita tidak terlalu merasa kehilangan”
“Kematian itu seperti di tikungan
jalan. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di balik tikungan itu. Dan mungkin
itulah saat kita mati.”
Scene lukisan pasir
Tentang sosok laki-laki dalam
dongeng yang bernama Amarah dan seorang perempuan yang bernama Bening. Amarah
yang mau menyumbangkan hidupnya untuk bening, dalam dongeng lukisan pasir itu,
membuat Mura bersedih karena ia yakin tidak ada orang yang mau menyumbangkan
hidup baginya. Dan itu dikatakannya pada Vino, seseorang laki-laki yang sayang
padanya dan akan segera mendonorkan jantung untuk Mura. Pada saat kondisi
tersebut, kondisi Mura sudah semakin lemah. Pilihannya hanya menantikan
pendonor jantung atau menjemput kematian di usia yang masih sangat belia.
Cinta bukan masalah memiliki, cinta adalah keberanian pergi atau ditinggal pergi.
Memasuki delapan menit akhir, adegan Mirna ingin menculik Wina di rumahnya sendiri. Bersama dengan seorang laki-laki. Sementara Vino menyiapkan sedang surat pamitan dengan hati hancur dan menenggak beberapa butir obat pemberian Calo. Intercut antara usaha penculikan Wina oleh Mirna dengan adegan Vino menjemput maut sungguh manis untuk menggambarkan akhir konflik yang kian tajam di bagian akhir. Akhirnya Amir muncul dari luar rumah dan terjadi perseteruan dengan Mirna. Perseteruan ini membuat teman Mirna menembak Amir di depan Wina saat Amir berusaha melarang Mirna untuk membawa paksa Wina. Amir jatuh tersungkur karena tembakan di dada kirinya, Vino terjatuh di kasur dalam kamarnya sendiri setelah menenggak beberapa butir obat berwana kuning. Tidak dijelaskan itu obat apa.
Kegundahan Mura saat akan dioperasi.
Mura yang sedang mempersiapkan
operasi dengan didampingi papanya (yang diperankan oleh Ikang Fawzi)sebenarnya
sedang menantikan Vino untuk datang dan menemaninya menjelang operasi.
Ketakutan ini wajar dan umum terjadi di kalangan kita ketika seseorang akan
menghadapi operasi. Apapun itu bentuknya. Amir menggantikan peran Vino untuk
donor jantung, di detik-detik terakhir.
Demikian pesan Amir kepada paramedis dan si calo di depan rumah sakit. Bagian
akhir film ini sungguh sangat mendebarkan. Ditutup dengan Mura mendatangi
makam. Bersama Vino. Makam Amir. Sementara papa Mura akhirnya juga menjadi papa
bagi Wina
Tapi kadang dalam hidup kita tidak dihadapkan pada pilihan. Dalam hidup ga ada jaminan untuk terus bahagia. Seperti burung-burung senja itu, yang bisa mendadak melayang jatuh, ga pernah bisa kembali ke sarang mereka, tapi bagi aku dan Mura waktu pernah mematahkan sayap-sayap kami dan waktu pula yang menyembuhkannya kembali.
Kesimpulan akhir saya buat film ini
adalah bahwa film ini mematahkan stigma bahwa film-film Indonesia sarat dengan
roman picisan yang plotnya remeh dan mudah ditebak. Suka dengan film Indonesia
yang mendidik ini!
MALAIKAT TANPA SAYAP
MALAIKAT TANPA SAYAP
Sutradara : Rako Prijanto
Produser : Chand Parwes Servia
Pemeran :
-
Adipati
Dolken sebagai Vino
-
Maudy Ayunda sebagai
Mura
-
Ikang Fawzi sebagai
Papa Mura
-
Surya Saputra sebagai
Amir (Ayah Vino)
-
Agus Kuncoro sebagai
Calo
-
Kinaryosih sebagai
Mirna (Ibu
Vino)
-
Geccha Qheagaveta sebagai Wina
Musik : Tya Subiakto
Tanggal rilis : 9 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar